Dampak Perceraian Orang Tua terhadap Mental Anak
Latar
Belakang
Keluarga
merupakan suatu unit kecil bagian dari masyarakat, terdiri dari ayah sebagai
kepala keluarga dan beberapa anggota keluarga lainya yang tinggal didalam rumah
yang sama. Sudharto (dikutip dalam Hyoscyamina, 2011) mengatakan bahwa keluarga
merupakan forum pendidikan yang pertama dan utama dalam sejarah hidup sang anak
yang menjadi dasar penting dalam pembentukan karakter anak itu sendiri. Untuk
menciptakan karakter yang kuat dan jiwa baik pada anak diperlukan suasana
keluarga harmonis dan dinamis, hal tersebut dapat tercipta jika terbangun
komunikasi dua arah yang kuat antara orang tua dan anak, namun hal ini tidak
dijumpai dalam keluarga yang mengalami perceraian.
Sangatta (dikutip dalam Derawan &
Sutaryo, 2008) mengungkapkan:
“Perceraian
berakibat terbentuknya keluarga dengan orangtua tunggal yang mengahadapi peran
tunggal dalam keluarga. Wanita sebagai orangtua tunggal harus menjadi penegak
peraturan, kedisiplinan, dan keadilan dalam mengasuh anak serta bekerja mencari
nafkah layaknya seorang ayah meskipun ia juga mengasuh anak dengan kasih
sayang”. (h. 201-202)
Proses Tahapan Terjadinya Perceraian
Menurut Bohannon (dalam Turner & Helms, 1995) ada enam tahap terjadinya
proses perceraian yaitu: (a) perpisahan secara emosional, yaitu keadaan dimana
kedua individu tersebut tidak lagi saling memperhatikan dan memberikan kasih
sayang; (b) perpisahan secara hukum, yaitu perpisahan secara resmi yang
ditandai dengan sebuah keputusan hukum melalui pengadilan; (c) perpisahan
secara ekonomis, perpisahan antara suami-istri signifikan dalam hal keuangan;
(d) perpisahan koparental, yaitu pengadilan umum berperan mengesahkan
perceraian mereka dan dengan begitu masing-masing mantan suami-istri berhak
menentukan pilihan hidupnya sendiri tanpa dipengaruhi pihak lain; (e)
perpisahan komunitas, yaitu dimana keadaan setelah bercerai masing-masing
individu tidak akan lagi menjalin komunikasi atau mengadakan kerjasama dengan
pasangan hidupnya; dan (f) perpisahan fisik, merupakan suatu kondisi dimana
kedua individu tidak lagi tinggal dalam satu rumah (Dariyo, 2003).
Faktor- faktor Penyebab Terjadinya
Perceraian
Pasangan suami-istri yang mengalami perceraian tentu didasari oleh sebab
yang tidak dapat diselesaikan bersama, perceraian merupakan jalan keluar dari
berbagai masalah yang menumpuk. Mungkin beberapa dari mereka berusaha untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut, namun tidak kunjung selesai sehingga harus
di tempuh melalui perceraian. Di bawah ini akan dibahas mengenai beberapa
faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian.
Tidak mempunyai keturunan. Karena
tidak mempunyai keturunan walaupun menjalin hubungan pernikahan bertahun-tahun
dan telah berusaha untuk mengupayakannya namun tetap saja gagal. Guna
menyelesaikan masalah keturunan ini, mereka sepakat untuk mengakhiri hubungan
pernikahan dengan bercerai (Dariyo, 2003).
Perbedan prinsip, ideologi,
atau agama. Semula ketika pasangan antara laki-laki dan perempuan dalam
masa berpacaran, keduanya belum memikirkan perbedan prinsip, ideologi maupun
agama. Mereka berpendapat bahwa hal yang terpenting adalah saling mencintai dan
yang lain akan dapat diselesaikan dalam
pernikahan sehingga perbedaan tersebut diabaikan begitu saja. Namun, setelah
memasuki jenjang pernikahan dan kemudian memiliki keturunan akhirnya mereka
menyadari adanya perbedan-perbedan kemudian timbul permasalahan mengenai anak.
Apakah anak tersebut harus mengikuti aliran agama dari pihak ayahnya atau ibunya,
tetapi permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan secara baik sehingga
perceraianlah yang menjadi jalan keluar (Dariyo, 2003).
Tindakan kekerasan dalam
pernikahan. “Penyebab utama perceraian adalah adanya tindak kekerasan dalam
perkawinan serta pada dimensi afeksi yaitu meliputi masalah komunikasi, ketidak
cocokan, perubahan hasrat gaya hidup dan ketidak setiaan” (Pujiastuti &
Lestari, 2008, h. 18).
Dampak Terhadap Mental Anak.
Pengalaman traumatis pada
anak. Anak yang di tinggalkan oleh orangtuanya bercerai akan mengalami
dampak negatif, anak akan mengalami kesulitan dalam melakukan proses
identifikasi orangtua. Secara tidak langsung anak akan memiliki pandangan buruk
tentang pernikahan. Mereka beranggapan bahwa orang dewasa itu jahat, egois,
tidak bertanggung jawab, dan hanya memikirkan diri sendiri. Saat menjadi orang
dewasa anak akan merasa takut mencari pasangan hidupnya dan takut menikah sebab
dibayang-bayangi kehawatiran akan perceraian (Dariyo, 2003)
Menjadi pembangkang. Tidak semua anak
dapat menirima kondisi perceraian kedua orangtuanya. Hal ini menyebabkan anak
melalukan pembangkangan dengan bersikap marah terhadap diri sendiri, membuat
keributan di lingkungan luar, terlibat narkoba dan alkohol serta memendam
dendam pada orangtua (Suwarti & Esterlita dikutip dalam Nazwa, 2008).
Mengalami kekacauan emosi. Pada
anak dengan trauma internal yang berat dan berkepanjangan dalam observasi
longitudinal, didapatkan emosi yang kacau pada anak tersebut. Hal ini
berpengaruh pada kemampuan anak dalam bembina hubungan interpersonal yang
positif, anak tersebut mungkin tidak mendapatkan hal yang menyenangan dalam
berinteraksi. Saat suatu interaksi sedang terjadi, anak dengan trauma berat
akan cenderung menyudahi interaksi ini, refleksi ini menunjukan adanya
ketakutan yang dapat mengacaukan emosi anak tersebut (Agus & Kurniati,
2006)
Kegagalan dalam penyesuaian
diri. Individu yang bersangkutan
mengalami gangguan atau ketidakmampuan dalam melakukan penyesuaian diri secara
efektif dalam kehidupan sehari-hari. Ini tampak pada prestasinya yang tidak
optimal atau tidak sesuai dengan potensi yang dimiliki. Anak tersebut
mendapatkan banyak nilai nol padahal kemampuan intelektualnya tergolong baik.
Atau individu tersebut tidak dapat menjalankan peran nya dengan baik di
lingkungan sekitar (Siswanto, 2007).
Perubahan suasana
hati. Walaupun
terkadang kita semua mengalami perubahan suasana hati karena alasan yang kurang
jelas dan walaupun beberapa orang tampaknya lebih berat, mereka yang mengalami
hal ini karena tertekan lebih mudah terangsang depresi. Orang yang mengalami
hal ini secara terus menerus akan
bersikap sedih dan putus asa . Hal ini membuat mereka terasing dalam masyarakat
dan akibatnya memudahkan terjadinya depresi ( Wilkinson, 1989).
Simpulan
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting bagi anak, adanya kehadiran sosok ayah dan ibu dalam sebuah
perkembangan merupakan hal yang terpenting. Namum terkadang perceraian menjadi
jalan keluar yang diambil dalam sebuah permasalahan yang dihadapi pasangan
suami-istri, akibatnya anaklah yang menanggung dampak dari perceraian tersebut.
Karena ketidak siapan anak kehilangan salah satu orangtuannya menyebabkan
terganggunya perkembangan mental.
Apabila perceraian terjadi, maka hendaknya orangtua tidak melibatkan
anak dalam segala urusan yang berkaitan dengan perceraian, tetap membagi waktu
bersama anak, tidak membuat anak merasa tersingkirkan, dan tetap membiayai anak
sebagaimana mestinya. Selain itu cobalah memberikan pengertian terhadap anak
tentang masalah yang dihadapi, agar anak mengerti mengapa memilih perceraian
sebagi jalan keluarnya. Pentingnya sikap orangtua untuk tetap mau bekerja sama
dan memberikan dukungan terhadap anak demi menjaga kualitias kepribadian
anaknya.
Daftar pustaka
Agus, D., & Kurniati, K. (2006, April). Dampak peristiwa traumatik pada
anak. Majalah psikiatri, 2, 27.
Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan: Dewasa
muda. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Dermawan, S., & Sutaryo, L. P. P. (2011). Penyesuaian
diri remaja yang ditinggal orangtua bercerai. Jurnal Penelitian, 2(2),
201-201.
Hyoscyamina. (2011). Peran keluarga dalam membangun karakter anak. Jurnal
Psikologi Universitas Diponegoro,10(2), 144.
Pujiastuti, R. D., & Lestari, S. (2008, November).
Dinamika psikologis terjadinya perceraian padaperempuan bercerai.
Indigenouse: Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, 2, 18. Diunduh dari http://psikologi.ums.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/2008_dinamika-psikologis-perceraian.pdf
Siswanto. (2007). Gagal dalam penyesuaian. Dalam A. H. H.
Triyuliana (Ed.), Kesehatan mental: Konsep, cakupan dan perkembangannya. Yogyakarta:
ANDI.
Suwarti., & Esterlita, S. (2006, Juli). Sosialisasi:
Suatu tahapan penting dalam perkembangan sosial remaja. Psycho idea, 2, 9.
Wilkinson,
G. (1989). Buku pintar kesehatan: Depresi. Jakarta: Arcan.
0 komentar :
Posting Komentar