Selasa, 11 November 2014

Dampak Perceraian Orang Tua terhadap Mental Anak

Latar Belakang
     Keluarga merupakan suatu unit kecil bagian dari masyarakat, terdiri dari ayah sebagai kepala keluarga dan beberapa anggota keluarga lainya yang tinggal didalam rumah yang sama. Sudharto (dikutip dalam Hyoscyamina, 2011) mengatakan bahwa keluarga merupakan forum pendidikan yang pertama dan utama dalam sejarah hidup sang anak yang menjadi dasar penting dalam pembentukan karakter anak itu sendiri. Untuk menciptakan karakter yang kuat dan jiwa baik pada anak diperlukan suasana keluarga harmonis dan dinamis, hal tersebut dapat tercipta jika terbangun komunikasi dua arah yang kuat antara orang tua dan anak, namun hal ini tidak dijumpai dalam keluarga yang mengalami perceraian.
     Sangatta (dikutip dalam Derawan & Sutaryo, 2008) mengungkapkan:
 “Perceraian berakibat terbentuknya keluarga dengan orangtua tunggal yang mengahadapi peran tunggal dalam keluarga. Wanita sebagai orangtua tunggal harus menjadi penegak peraturan, kedisiplinan, dan keadilan dalam mengasuh anak serta bekerja mencari nafkah layaknya seorang ayah meskipun ia juga mengasuh anak dengan kasih sayang”. (h. 201-202)
    
Proses Tahapan Terjadinya Perceraian
     Menurut Bohannon (dalam Turner & Helms, 1995) ada enam tahap terjadinya proses perceraian yaitu: (a) perpisahan secara emosional, yaitu keadaan dimana kedua individu tersebut tidak lagi saling memperhatikan dan memberikan kasih sayang; (b) perpisahan secara hukum, yaitu perpisahan secara resmi yang ditandai dengan sebuah keputusan hukum melalui pengadilan; (c) perpisahan secara ekonomis, perpisahan antara suami-istri signifikan dalam hal keuangan; (d) perpisahan koparental, yaitu pengadilan umum berperan mengesahkan perceraian mereka dan dengan begitu masing-masing mantan suami-istri berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri tanpa dipengaruhi pihak lain; (e) perpisahan komunitas, yaitu dimana keadaan setelah bercerai masing-masing individu tidak akan lagi menjalin komunikasi atau mengadakan kerjasama dengan pasangan hidupnya; dan (f) perpisahan fisik, merupakan suatu kondisi dimana kedua individu tidak lagi tinggal dalam satu rumah (Dariyo, 2003).

Faktor- faktor Penyebab Terjadinya Perceraian
     Pasangan suami-istri yang mengalami perceraian tentu didasari oleh sebab yang tidak dapat diselesaikan bersama, perceraian merupakan jalan keluar dari berbagai masalah yang menumpuk. Mungkin beberapa dari mereka berusaha untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, namun tidak kunjung selesai sehingga harus di tempuh melalui perceraian. Di bawah ini akan dibahas mengenai beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian.
      Tidak mempunyai keturunan. Karena tidak mempunyai keturunan walaupun menjalin hubungan pernikahan bertahun-tahun dan telah berusaha untuk mengupayakannya namun tetap saja gagal. Guna menyelesaikan masalah keturunan ini, mereka sepakat untuk mengakhiri hubungan pernikahan dengan bercerai (Dariyo, 2003).
     Perbedan prinsip, ideologi, atau agama. Semula ketika pasangan antara laki-laki dan perempuan dalam masa berpacaran, keduanya belum memikirkan perbedan prinsip, ideologi maupun agama. Mereka berpendapat bahwa hal yang terpenting adalah saling mencintai dan yang lain akan dapat diselesaikan  dalam pernikahan sehingga perbedaan tersebut diabaikan begitu saja. Namun, setelah memasuki jenjang pernikahan dan kemudian memiliki keturunan akhirnya mereka menyadari adanya perbedan-perbedan kemudian timbul permasalahan mengenai anak. Apakah anak tersebut harus mengikuti aliran agama dari pihak ayahnya atau ibunya, tetapi permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan secara baik sehingga perceraianlah yang menjadi jalan keluar (Dariyo, 2003).
    Tindakan kekerasan dalam pernikahan. “Penyebab utama perceraian adalah adanya tindak kekerasan dalam perkawinan serta pada dimensi afeksi yaitu meliputi masalah komunikasi, ketidak cocokan, perubahan hasrat gaya hidup dan ketidak setiaan” (Pujiastuti & Lestari, 2008, h. 18).

Dampak Terhadap Mental Anak.
      Pengalaman traumatis pada anak. Anak yang di tinggalkan oleh orangtuanya bercerai akan mengalami dampak negatif, anak akan mengalami kesulitan dalam melakukan proses identifikasi orangtua. Secara tidak langsung anak akan memiliki pandangan buruk tentang pernikahan. Mereka beranggapan bahwa orang dewasa itu jahat, egois, tidak bertanggung jawab, dan hanya memikirkan diri sendiri. Saat menjadi orang dewasa anak akan merasa takut mencari pasangan hidupnya dan takut menikah sebab dibayang-bayangi kehawatiran akan perceraian (Dariyo, 2003)
     Menjadi pembangkang. Tidak semua anak dapat menirima kondisi perceraian kedua orangtuanya. Hal ini menyebabkan anak melalukan pembangkangan dengan bersikap marah terhadap diri sendiri, membuat keributan di lingkungan luar, terlibat narkoba dan alkohol serta memendam dendam pada orangtua (Suwarti & Esterlita dikutip dalam Nazwa, 2008).
     Mengalami kekacauan emosi. Pada anak dengan trauma internal yang berat dan berkepanjangan dalam observasi longitudinal, didapatkan emosi yang kacau pada anak tersebut. Hal ini berpengaruh pada kemampuan anak dalam bembina hubungan interpersonal yang positif, anak tersebut mungkin tidak mendapatkan hal yang menyenangan dalam berinteraksi. Saat suatu interaksi sedang terjadi, anak dengan trauma berat akan cenderung menyudahi interaksi ini, refleksi ini menunjukan adanya ketakutan yang dapat mengacaukan emosi anak tersebut (Agus & Kurniati, 2006)
      Kegagalan dalam penyesuaian diri. Individu yang bersangkutan mengalami gangguan atau ketidakmampuan dalam melakukan penyesuaian diri secara efektif dalam kehidupan sehari-hari. Ini tampak pada prestasinya yang tidak optimal atau tidak sesuai dengan potensi yang dimiliki. Anak tersebut mendapatkan banyak nilai nol padahal kemampuan intelektualnya tergolong baik. Atau individu tersebut tidak dapat menjalankan peran nya dengan baik di lingkungan sekitar (Siswanto, 2007).
      Perubahan suasana hati. Walaupun terkadang kita semua mengalami perubahan suasana hati karena alasan yang kurang jelas dan walaupun beberapa orang tampaknya lebih berat, mereka yang mengalami hal ini karena tertekan lebih mudah terangsang depresi. Orang yang mengalami hal ini secara terus menerus  akan bersikap sedih dan putus asa . Hal ini membuat mereka terasing dalam masyarakat dan akibatnya memudahkan terjadinya depresi ( Wilkinson, 1989).


Simpulan
     Keluarga memiliki peranan yang sangat penting bagi anak, adanya  kehadiran sosok ayah dan ibu dalam sebuah perkembangan merupakan hal yang terpenting. Namum terkadang perceraian menjadi jalan keluar yang diambil dalam sebuah permasalahan yang dihadapi pasangan suami-istri, akibatnya anaklah yang menanggung dampak dari perceraian tersebut. Karena ketidak siapan anak kehilangan salah satu orangtuannya menyebabkan terganggunya perkembangan mental.
     Apabila perceraian terjadi, maka hendaknya orangtua tidak melibatkan anak dalam segala urusan yang berkaitan dengan perceraian, tetap membagi waktu bersama anak, tidak membuat anak merasa tersingkirkan, dan tetap membiayai anak sebagaimana mestinya. Selain itu cobalah memberikan pengertian terhadap anak tentang masalah yang dihadapi, agar anak mengerti mengapa memilih perceraian sebagi jalan keluarnya. Pentingnya sikap orangtua untuk tetap mau bekerja sama dan memberikan dukungan terhadap anak demi menjaga kualitias kepribadian anaknya.








Daftar pustaka
Agus, D., & Kurniati, K. (2006, April). Dampak peristiwa traumatik pada anak. Majalah psikiatri, 2, 27.
Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan: Dewasa muda. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Dermawan, S., & Sutaryo, L. P. P. (2011). Penyesuaian diri remaja yang ditinggal orangtua bercerai. Jurnal Penelitian, 2(2), 201-201.
Hyoscyamina. (2011). Peran keluarga dalam membangun karakter anak. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro,10(2), 144.
Pujiastuti, R. D., & Lestari, S. (2008, November). Dinamika psikologis terjadinya perceraian padaperempuan bercerai. Indigenouse: Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, 2, 18. Diunduh dari http://psikologi.ums.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/2008_dinamika-psikologis-perceraian.pdf
Siswanto. (2007). Gagal dalam penyesuaian. Dalam A. H. H. Triyuliana (Ed.), Kesehatan mental: Konsep, cakupan dan perkembangannya. Yogyakarta: ANDI.
Suwarti., & Esterlita, S. (2006, Juli). Sosialisasi: Suatu tahapan penting dalam perkembangan sosial remaja. Psycho idea, 2, 9.
Wilkinson, G. (1989). Buku pintar kesehatan: Depresi. Jakarta: Arcan.





























  


0 komentar :

Posting Komentar